RSS

Assalamualaikum Wr. Wb

selamat datang kawan..
keep smile ^_^

FEMINISME LIBERAL, RADIKAL, MARXIS, SOSALIS & POSKOLONIAL

FEMINISME LIBERAL.

Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah
makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-
laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan
kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk
untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks
Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam
 parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

FEMINISME RADIKAL
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi
akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena
itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk
lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. ³
The personal is political
menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah
yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda)
 banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat
inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT).

FEMINISME MARXIS
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya
sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels
dikembangkan menjadi landasan aliran ini²status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi
(private propert). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi
keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk
exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat²borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki daN penindasan terhadap perempuan dihapus.

FEMINISME SOSIALIS

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini
mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh.
Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki
dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

FEMINISME POSKOLONIAL
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan.
Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya
Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, ³hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.

BY: http://www.scribd.com/doc/48161027/FEMINISME-LIBERAL

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Wanita dalam perspektif Fathimah az-Zahra as

Fathimah az-Zahra as telah sampai kepada tingkat ubudiyyah yang tinggi di mana manusia paling ‘abid (penghamba) selainnya hanyalah Rasulullah saww dan Imam Ali as. Ketika malam tiba, beliau selalu sibuk dan asyik memuja Allah swt di mihrabnya hingga fajar menjelang, sampai-sampai kakinya bengkak. Beliau pulalah yang beruntung dengan penyucian yang diberikan Allah seperti yang terekam di dalam ayat Thathhir. Imam Ali as sendiri, sang suami, ketika ditanya Rasulullah saww tentang az-Zahra, menggambarkannya sebagai penolong paling baik dalam ketaatan kepada Allah SWT. Imam Khomeini ra berkata: “Seandainya Fathimah as itu laki-laki, maka dia akan menjadi Nabi dan seandainya dia laki-laki, dia akan berada di posisi Rasulullah saww”.


—————————————————


Wanita dalam Perspektif Fathimah az-Zahra as

 

Sekilas tentang Fathimah az-Zahra as

Sudah masyhur di kalangan kita, ucapan sang Khatamul Anbiya, Muhammad saww tentang sosok wanita yang memainkan peranan penting dalam keberlangsungan risalah:“Fathimah adalah wanita surga termulia”.[1] Di lain waktu, Rasulullah saww bersabda:“Hai Ali, Fathimah adalah bagian dari diriku, cahaya mataku dan buah hatiku. Siapa yang membuatnya marah, berarti membuatku marah dan siapa yang membuatnya gembira, berarti membuatku gembira”.[2]

Ya, Fathimah az-Zahra as adalah sosok wanita paling mulia yang pernah hidup di muka bumi. Beliau lahir di dalam rumah suci nubuwwah dan tumbuh besar dalam lingkaran wahyu. Beliau yang saat kecil tidak gemar permainan anak-anak, bahkan ketika bermain lebih banyak berzikir kepada Allah swt. Beliau juga yang menyaksikan bagaimana perlakuan musyrikin Mekkah terhadap ayah tercintanya. Dan beliau pulalah yang dengan bahasa lembut kekanakannya dan air mata bercucuran, mencoba menghibur dan meringankan derita sang ayah.[3]

Babak-babak kehidupan az-Zahra as tidak pernah lepas dari episode penting perjalanan Islam. Di antaranya, ketika Rasulullah menantang para pendeta Bani Najran, yang berkeras dan tidak mau mengakui kebenaran Islam, untuk bermubahalah hanya Fathimah as yang mewakili wanita keluarga Nabi yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu.[4] Nabi sama sekali tidak mengajak istri-istrinya.

Fathimah az-Zahra as telah sampai kepada tingkat ubudiyyah yang tinggi di mana manusia paling ‘abid (penghamba) selainnya hanyalah Rasulullah saww dan Imam Ali as. Ketika malam tiba, beliau selalu sibuk dan asyik memuja Allah swt di mihrabnya hingga fajar menjelang, sampai-sampai kakinya bengkak.[5] Beliau pulalah yang beruntung dengan penyucian yang diberikan Allah seperti yang terekam di dalam ayat Thathhir.[6] Imam Ali as sendiri, sang suami, ketika ditanya Rasulullah saww tentang az-Zahra, menggambarkannya sebagai penolong paling baik dalam ketaatan kepada Allah SWT.[7] Imam Khomeini ra berkata: “Seandainya Fathimah as itu laki-laki, maka dia akan menjadi Nabi dan seandainya dia laki-laki, dia akan berada di posisi Rasulullah saww”.[8]

Kedudukan Hadis Fathimah az-Zahra as

Secara bahasa, hadis berarti baru. Jika seseorang menceritakan kembali keadaan yang telah lalu, maka bagi pendengar kejadian itu seolah-olah baru terjadi. Hadis memiliki peranan yang penting oleh karena hadis memberikan sumbangan untuk kemajuan hidup manusia. Hadis juga merupakan wasilah bagi penyampaian ide, fikiran, pengalaman dan ilmu masyarakat zaman dahulu kepada masyarakat di saat ini.

Namun secara istilah Islam, hadis berarti penyebutan suatu materi yang berasal dari para nabi dan berhubungan dengan ilmu samawi, ahkam, undang-undang, akhlak atau adab. Dalam sejarah Islam, penulisan hadis sudah dimulai sejak zaman Rasulullah saww. Imam Ali as adalah orang pertama yang menulis hadis, langsung dari apa yang didiktekan oleh Rasulullah SAW. Metode penulisan ini berasal dari Rasulullah dan terus berlangsung sampai ke Imam Mahdi afs. Beberapa sahabat juga ada yang menulis hadis, misalnya Abu Rafi’, yang menulis bab khusus tentang wudhu. Para Imam as pun memberikan perhatian khusus tentang penulisan hadis. Imam Shadiq as dan Imam Ja’far as yang aktif mengajar, berkata kepada murid-muridnya:

”Tulislah materi ini, dan sampaikan lagi kepada yang lainnya. Suatu hari nanti, tulisan itu akan menjadi bahasan utama dan ukuran bagi penafsiran dan pemahaman al-Qur’an serta penjelasan ahkam”.[9]

Hadits dan al-Qur’an ibarat 2 sisi mata uang, saling berhubungan dan terkait. Al-Qur’an yang merupakan kitab suci abadi hanya memuat hal-hal yang bersifat umum. Untuk mengetahui maksud al-Qur’an secara terperinci, hendaklah merujuk kepada penjelasan orang yang kepadanya diturunkan al-Qur’an, yaitu Rasulullah saww. Rasulullah sendiri pernah bersabda:”Sepeninggalku, umat harus mengikuti al-Qur’an dan itratku”. Rasulullah meletakkan itratnya sebagai padanan al-Qur’an sehingga mereka menjadi penjelas makna al-Qur’an.

Sementara itu, hadis juga tidak dapat berdiri sendiri tanpa al-Qur’an. Kendati hadis ditulis langsung secara cermat, tidak dapat dipungkiri, ketika hadis disampaikan kembali terkadang si pendengar salah memahami makna dan maksud si pembicara. Selain itu ada juga orang-orang yang menjual agamanya dengan harga yang murah dengan membuat hadis-hadis palsu. Oleh karena itu materi hadis harus diperiksa, apakah sesuai dengan al-Qur’an atau tidak. Apabila tidak sesuai maka hadis itu tidak dapat diterima. Para Aimmah as sendiri selalu menekankan bahwa hadits yang tidak sesuai dengan al-Qur’an, bukanlah hadis dari mereka.[10]

Maka jelaslah bahwa kejujuran perawi hadis merupakan faktor penting untuk mengetahui kedudukan hadis yang disampaikan agar selanjutnya kita dapat mengambil sikap untuk menerima atau menolak hadis yang disampaikannya.

Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Fathimah az-Zahra as dalam kurun waktu hidupnya yang relatif singkat itu, ternyata cukup banyak. hadis – hadis tersebut ada yang didengar langsung dari Rasulullah saww dan ada pula yang berasal dari tulisan yang diperintahkan Rasulullah untuk menulisnya.[11] Untuk menilai kedudukan hadits az-Zahra as, maka kita juga harus meneliti tentang kejujurannya, sehingga kita dapat menilai apakah hadis tersebut dapat dijadikan sebagai penjelas al-Qur’an atau tidak.

Aisyah pernah berkata:”Setelah Rasulullah, aku tidak pernah melihat orang yang lebih jujur dari Fathimah”.[12] Bukan hanya jujur, sebenarnya Fathimah az-Zahra as merupakan orang yang ma’shum.

Ma’shum secara lughawi berarti terlindung dan terhalang. Sedang dalam istilah, seseorang disebut sebagai ma’shum apabila terlindung dari kesalahan dan dosa. Seseorang disebut ma’shum apabila ia dapat menyaksikan hakikat dunia dan berhubungan dengan alam malakuti, sehingga mencegah dirinya dari perbuatan dosa. Kalangan Syiah meyakini bahwa selain Rasulullah saww dan para Aimmah as, az-Zahra as juga merupakan oarng yang ma’shum.

Berikut ini adalah dalil yang membuktikan kema’shuman Fathimah as: Ayat Thathhir.
“…Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan kenistaan dari kalian, hai ahlul bait dan menyucikan kalian, sesuci-sucinya”. (Al Ahzab ayat 34)

Banyak hadits yang menyebutkan bahwa ayat tersebut turun berkaitan Rasulullah saww, Imam Ali as, Imam Hasan as, Imam Husein as dan Sayyidah Zahra as. Misalnya, Ummu Salamah berkata:

“Suatu hari, Fathimah Azzahra as membawa semangkuk bubur untuk Rasulullah SAW . Rasulullah bersabda: Panggillah juga Ali, Hasan dan Husein. Ketika semuanya datang dan sedang makan, ayat yang disebutkan di atas turun. Kemudian, Rasulullah SAW meletakkan kain khaibarinya ke atas kepala mereka dan 3 kali berkata: Ya Allah, mereka ini adalah ahli baitku, bersihkanlah mereka dari kotoran dan sucikanlah mereka”.

Setelah ayat ini turun, selama 6 bulan berturut-turut, Rasulullah selalu melewati rumah az-Zahra as ketika hendak menunaikan shalat shubuh dan membacakan ayat tersebut.[13]

Namun sebagian kalangan ada yang menyatakan bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan kema’shuman siapapun karena sebelum dan sesudah ayat itu berbicara mengenai istri-istri Rasulullah. Dan di ayat itu yang menjadi mukhatab (orang yang diajak bicara) adalah mereka, dan jika ayat itu memang menunjukkan kema’shuman, maka harus dikatakan bahwa istri-istri Rasulullah juga ma’shum.

Untuk menjawab isykal ini, Allamah Sayyid Husein Syarifuddin menyatakan:

1. Dari beberapa riwayat disebutkan bahwa ayat ini memang turun khusus untuk Imam Ali as, Fathimah as, Imam Hasan dan Imam Husain.
2. Jika ayat tersebut untuk istri-istri Rasulullah, maka hendaknya berbentuk khitab untuk wanita dengan kata “kunna”, tidak dalam bentuk jama’ muzakkar “kum”.
3. Dalam bahasa Arab fasih, adalah hal yang biasa meletakkan satu kalimat i’tiradh yaitu penyisipan kalimat lain di tengah rangkain kalimat yang sedang menjadi pembicaraan utama. Maka tidak ada salahnya jika kita berkata:
“Allah swt meletakkan ayat ini di antara ayat yang berbicara tentang istri-istri Rasulullah sehingga terlihatlah pentingnya hal tersebut. Ini juga sebuah isyarat bahwa tidak boleh ada yang melakukan agresi kepada ahli bait Rasulullah karena mereka adalah orang-orang yang ma’shum, bahkan para istri Rasulullah juga tidak berhak melakukan yang demikian”.
4. Bisa saja terjadi bahwa ayat itu turun khusus untuk ahli bait Nabi, namun ketika ayat itu dikumpulkan ia masuk ke dalam kumpulan ayat yang berbicara tentang istri-istri Nabi.[14]

Setelah meyakini tentang kema’shuman Fathimah as, maka kita dapat memperhatikan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Fathimah az-Zahra as. Berikut ini, 2 hadits yang cukup mewakili perspektif beliau tentang wanita:
1. Imam Ali as bersabda: “Kami sedang bersama Rasulullah, beliau bertanya: Apakah yang paling baik bagi wanita? Fathimah as menjawab: Yang terbaik bagi wanita adalah dia tidak melihat non mahram dan dia juga tidak dilihat oleh pria non mahram”.[15]

2. Rasulullah Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabatnya: “Saat apakah wanita itu lebih dekat dengan Tuhannya?” Fathimah Azzahra as berkata: Ketika wanita tinggal di rumahnya”.[16]

Kalau kita membaca hadis tersebut sekilas, maka akan terlihat seolah-olah ada pembatasan yang sangat ketat bagi wanita yang pada akhirnya dapat menimbulkan prasangka buruk dalam diri kita bahwa Islam berlaku tidak adil terhadapa wanita, seperti yang banyak didakwakan oleh kalangan lain. Misalnya saja kalangan feminis yang menyebutkan:

“Feminisme berusaha melawan berbagai tindakan diskriminasi, termasuk diskriminasi peran yang didasarkan pada stereo type gender dan dominasi kaum lelaki dalam berbagai sektor kehidupan, baik ekonomi, sosial keluarga bahkan agama (Islam). Bagaimana pun agama masih merupakan norma tertinggi dalam masyarakat sehingga dalam penyusunan struktur masyarakat dan kaidah-kaidahnya, agama masih dipandang sebagai ukuran normatif. Tetapi dalam pandangan kaum feminis, posisi dan kondisi kaum perempuan saat ini masih belum sepenuhnya mencapai tataran normatif yang sebenarnya dikehendaki dalam Islam”.[17]

Agar kita tidak terjebak pada tuduhan yang sama seperti di atas, maka ada baiknya kita menyimak penjelasan ulama berkaitan dengan hadits az-Zahra as di atas.

Ayatullah Ibrahim Amini menyebutkan bahwa apa yang disampaikan oleh Fathimah Azzahra as itu adalah contoh prilaku yang paling baik yang mampu memberikan keuntungan bagi wanita dan menjaga kedudukan mereka dalam masyarakat. Karena jika wanita keluar dari rumah dan berhubungan dengan pria, di mana pria dapat menyaksikan keindahan dirinya, para pemuda akan lebih lama lagi menikah. Akibatnya wanita tanpa suami akan bertambah dari hari ke hari.

Sedang para pria yang menyaksikan keindahan wanita ini, jika ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya berkaitan dengan hal tersebut, akan mengalami gangguan kejiwaan dan keputusasaan akan semakin menumpuk di kalangan mereka.

Selain itu, wanita bersuami yang menyaksikan bahwa suaminya memperhatikan wanita lain, maka ia akan jatuh dalam cemburu dan buruk sangka. Bangunan protes dan ketidakcocokan akan muncul, yang pada gilirannya akan menggoncangkan keselarasan rumah tangga. Akhirnya akan terjadi perceraian atau mereka tetap dalam penjara rumah dan terus menunggu berakhirnya masa tahanan, selalu menghitung waktu, ibarat polisi yang terus mewaspadai targetnya.[18]

Masih menurut Allamah Ibrahim Amini, pria beristri yang menyaksikan keindahan wanita lain akan menemukan bahwa wanita lain itu lebih cantik dan lebih menarik daripada istrinya, yang akan menyebabkan ketidaktenangan istrinya. Dengan alasan yang dibuat-buat, ia akan menukar ketenangan rumah tangganya dengan jahannam.

Sementara para pria pekerja di mana dalam aktivitas kerja, ia berpapasan dengan wanita setengah telanjang atau yang berhias, otomatis akan terpengaruh secara seksual. Pria ini tidak akan bisa memfokuskan dirinya dalam pekerjaan atau pelajaran dan mereka akan tertinggal dalam bidang ekonomi.[19]

Habibullah Ahmadi menyebutkan bahwa hadis tersebut tidak berarti pengasingan diri wanita muslimah, tetapi bahwa dalam aktivitas sosialnya wanita melaksanakan aturan Islam sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan pandangan haramnya pria non mahram dan dia juga jauh dari pandangan haram kepada yang bukan mahramnya. Atau bisa juga berarti bahwa para wanita sendirilah yang mengurus urusannya sehingga tidak perlu berhubungan dengan pria non mahram apalagi sampai ber-ikhthilath (bercampur) dengannya.[20]

Jelaslah bahwa hadits Fathimah az-Zahra as di atas bukan berarti penetapan ketidakadilan terhadap perempuan. Yang harus diingat adalah bahwa Fathimah as adalah wanita mulia, yang disebutkan Rasulullah saww sebagai penghulu seluruh wanita dunia dan akhirat. Maka dalam segi ilmu beliau juga lebih unggul dari wanita lain. Apalagi az-Zahra as sudah berhubungan langsung dengan alam malakuti. Ilham yang diberikan Allah dalam menjawab pertanyaan Rasulullah itu adalah bukti makrifatnya. Fathimah az-Zahra as telah merangkum perspektifnya tentang wanita dalam sebuah kalimat yang singkat, namun memiliki makna yang dalam. Wallahu a’lam
by: http://islamfeminis.wordpress.com/2007/04/27/wanita-dalam-perspektif-fathimah-az-zahra-as/

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Feminisme

A.PENGERTIAN FEMINISME
Feminisme atau yang sering dikenal dengan sebutan emansipasi berasal dari bahasa
latin yang berarti perempuan.
Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu kesadaran
akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan
dalam keluarga, serta tindakan sadar perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan
tersebut.
Sedangkan menurut Yubahar Ilyas, feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan
 jender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta
tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.
Ada tiga ciri feminisme, yaitu :
1.Menyadari akan adanya ketidakadilan gender
2.Memaknai bahwa gender bukan sebagai sifat kodrati
3.Memperjuangkan adanya persamaan hak.

B.SEJARAH FEMINISME
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya
dengan kelahiran Era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley
Montagu dan Marquis de Condorcet. perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan
pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian
dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa
memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis,Charles Fourier
pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat
sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka
menandai kelahiran feminisme Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu,
dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia
menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam
semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam
 
masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan
lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang
dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris
cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di
rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa
dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda
Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan
derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat
terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai
mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of
the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme
dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek
perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai
diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan
ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh
kaum laki-laki.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi
momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak
berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas
. Gerakan feminisme adalah
gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan
 perempuan, dan phalogosentrisme.

Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara
baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun
1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun
ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami
ranah politik kenegaraan.Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis
seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria Yang kemudian menetap di
Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis)
bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa,
Cixous mengkritik Logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
 
Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang
marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana
pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Secara lebih spesifik,
banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek
penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika
Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan
sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga
teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme.
Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai
obyek. Dan Bell Hock mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan
anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran black-
female dalam kelahirannya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women".
Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra
novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang
hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek.
Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai
yang mengasuh bayi dan budak pembantu di
rumah-rumah kulit putih.
Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik
agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak
pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja.
Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari
kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu
kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia
ketiga masih dalam kelompok yang bisu.
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa
mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa
semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek
analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.

by: http://www.scribd.com/doc/28956671/FEMINISME

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kisah Muslimah Pertama Jadi Menteri Inggris

 
VIVANEWS
IDENTITAS sebagai muslimah tidak membuat Baroness Sayeeda Warsi, terhambat dalam menjalani perannya sebagai Menteri Non Portofolio dan juga ketua Partai Konservatif Inggris. Diakuinya, identitas itu justru membuatnya tertantang ingin membuat perubahan.

"Banyak yang mengatakan bahwa kejadian 9/11 mengubah dunia dan cara pandang terhadap Islam. Sebagai muslimah yang lahir dan besar di Inggris, hal itu juga mengubah dunia saya," kata Warsi mengawali kuliah umumnya di kampus UI Depok, Selasa 29 Mei 2012.

Wanita keturunan Pakistan itu menceritakan, dia menghadapi tekanan dari dua kelompok masyarakat usai peristiwa 9/11. Selain dari kaum kulit putih Inggris karena dia dianggap terlalu 'berwarna' dan terlalu perempuan, Warsi juga mendapat tekanan dari masyarakat Muslim Inggris.

Sempat mulai bekerja di luar Inggris pada 2002 karena merasa tidak nyaman, Warsi akhirnya kembali dengan tekad menjadikan Inggris sebagai tempat yang nyaman untuk Islam, dan Islam menjadi nyaman untuk Inggris.

"Dengan keadaan yang ada sekarang, nampaknya mudah saja untuk mempolarisasi Barat dan Islam. Visi saya adalah menyatukan keduanya dengan nilai-nilai," kata alumni University of Leeds ini.

Menurutnya, nilai-nilai beragama sekaligus kemanusiaan yang paling mendasar dimulai dari perlindungan terhadap kaum minoritas. Diakui Warsi, saat ini usaha perlindungan kaum minoritas di Inggris sudah jauh lebih baik dari masa-masa sebelumnya.

Sayeeda Warsi bukan figur biasa di partainya,  yang kepemimpinannya didominasi oleh orang kulit putih dari wilayah selatan yang makmur.

Perdana Menteri David Cameron pada tahun 2007 mengangkat Warsi ke House of Lords, membuatnya bertitel Baroness. | sumber: vivanews.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS